Senin, 07 November 2011

Kebudayaan dan Kepribadian

seiring dengan berjalannya waktu, dunia pun semakin berkembang dari tradisional menjadi modern dan semuanya pun berubah menjadi hal yamg lebih baru lagi

Zaman Batu
  • Zaman batu tua (paleolitikum) Alat yg digunakan masih kasar, belum ada kegiatan menetap di suatu wilayah atau masih bersifat nomaden, dan melaksanakan sistem food gathering
  •  Zaman batu muda (neolitikum) telah memiliki kepandaian mengolah logam dari besi, masyarakat mulai terbentuk dan adanya sistem food producing

Selanjutnya munculah kebudayaan Hindu, Budha dan Islam


  • Hindu berasal dari india sekitar abad 3 sampai 4 di pulau jawa
  • Budha masuk sekitar abad ke-5
  • Ajaran budha dapat diatakan berpandangan lebih maju karena tidak menghendaki adanya kasta
  • Pada abad ke 15-16 agama islam dikembangkan di Indonesia oleh wali songo
  • Dalam prosesnya dikembangkan juga oleh para Gujarat, arab dan pakistan


Di Indonesia juga terdapat unsur kebudayaan barat diawali dengan kedatangan VOC yg membagi menjadi 2 lapisan sosial yaitu kaum buruh dan pegawai dimana Indonesia juga menerima kebudayaan Eropa ketika Inggris masuk ke Indonesia yang dapat dilihat dari bukti adanya agama Kristen Katholik dan Protestan

Menurut Para Ahli Antropologi terdapat Korelasi antara Kebudayaan dan Kepribadian di mana ketika seseorang mendiami suatu wilayah maka kebudayaan wilayah tersebut akan melebur dalam diri 
 
sumber : Harwantiyoko, Neltje F.Katuuk. MKDU Ilmu Sosial Dasar. Jakarta. 1996
              

Peran Fungsi Keluarga dalam Membangun Moral Bangsa

Keluarga merupakan institusi terkecil dalam masyarakat. Masyarakat adalah unit yang membentuk negara. Oleh karena itu, keluarga sangat berperan penting dalam pembentukan setiap karakter individu. Karakter merupakan kunci bagi sumber daya manusia yang berkualitas. Sehingga, pendidikan karakter sejak usia dini merupakan hal yang penting.
Berbagai masalah yang dihadapi di negara kita salah satunya diakibatkan oleh adanya krisis karakter  para pejabat negara. Misalnya saja kasus korupsi. Tidak hanya masalah pejabat negara dengan kasus korupsinya saja, namun juga masalah generasi muda bangsa yang nampaknya sudah jauh dari perilaku baik. Sebut saja tauran antar pelajar, sex pra nikah atau bahkan hal terkecil seperti menyontek, berlaku tidak sopan dengan teman, orang tua maupun guru dan berbicara tidak baik.
Padahal semestinya masalah tersebut tidak akan terjadi jika keluarga melakukan fungsinya dengan benar. Semakin hari, dapat terlihat bahwa hancurnya nilai luhur yang terkandung dalam keluarga. Fungsi keluarga menurut Effendi 1998  khususnya fungsi psikologis adalah memberikan perhatian diantara anggota keluarga, memberikan pendewasaan kepribadian anggota keluarga dan memberikan identitas keluarga. Fungsi pendidikan yaitu salah satunya adalah mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi peranannya dalam kehidupan dewasa, serta fungsi sosialisasi yaitu membentuk norma tingkah laku sesuai dengan perkembangan anak. Sebenarnya, bila keluarga melakukan fungsinya dengan baik, maka semua masalah yang terkait dengan krisis karakter akan terselesaikan.
Namun, keluarga seringkali melewatkan begitu saja fase kritis dalam pembentukan sikap moral anak. Kadangkala orang tua tidak memikirkan bagaimana perkembangan moral anaknya sehingga tidak terlalu fokus dalam membentuk karakter anak agar menjadi seorang pribadi yang berkualitas di masa yang akan datang.        
Dengan tuntutan globalisasi dan perkembangan teknologi saat ini, komunikasi antar anggota keluarga terkadang sangat sulit dilakukan. Dengan kesibukan orang tua yang bekerja, seringkali keluarga hanyalah tempat untuk menginap saja. Tidak ada pendidikan dan sosialisasi yang diberikan orang tua kepada anaknya. Sekarang,  juga banyak kasus perceraian yang dapat berdampak buruk terhadap anak. Anak broken home rentan sekali terbawa arus negatif pergaulan, apalagi anak tersebut adalah anak remaja.
Media, khususnya media televisi juga dapat menyumbang dampak negatif dalam pengembangan karakter individu. Sebagian besar pasti setiap keluarga mempunyai televisi di rumahnya. Sehingga dampak yang diberikan oleh media siaran ini bisa cukup besar. Sekarang ini, sulit sekali menemukan tayangan-tayangan yang bermanfaat khususnya tayangan untuk anak. Terkadang, tayangan untuk anak tersebut sebenarnya tidak cocok bila ditonton oleh anak kecil. Bila tidak ada perhatian orang tua secara khusus terhadap hal ini, anak pun dapat terkena dampak yang negatif.
Penanaman spiritual pada anak sejak dini juga penting dalam membangun karakternya. Misalnya saja, anak diajarkan mengaji atau diberiahu tentang aturan-aturan agama dan mulai belajar menerapkannya. Agar, saat ia remaja atau dewasa, sudah ada pengetahuan dan tertanam dalam dirinya perilaku apa saja yang baik dan benar. Sehingga orang tua tidak akan khawatir bila anaknya jauh dari mereka karena pribadinya sudah terbentuk sikap yang baik. Seperti menurut Ratna Megawangi, bahwa dalam pembentukan karakter,   ada tiga hal yang berlangsung secara terintegrasi. Pertama, anak mengerti baik dan buruk, mengerti tindakan apa yang harus diambil, mampu memberikan prioritas hal-hal yang baik. Kemudian, mempunyai kecintaan terhadap kebajikan, dan membenci perbuatan buruk. Misalnya anak tidak mau berbohong karena berbohong itu hal yang buruk . Ketiga, anak mampu melakukan kebajikan, dan terbiasa melakukannya.
Oleh karena itu, pembangunan karakter tidak dapat terlepas dari keluarga, sekolah dan lingkungan sekitar individu tersebut. Keluarga merupakan hal yang terpenting, karena keluarga ibarat akar yang menentukan akan menjadi apa dan bagaimana seorang individu tersebut.  Bila keluarga menjalankan fungsinya dengan baik, maka individu-individu yang dilahirkan akan mempunyai moral dan karakter yang baik sehingga dapat membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Bukan tidak mungkin bila negara kita dapat terlepas dari berbagai masalah krisis moral  karena disusun oleh masyarakat yang mempunyai keluarga yang berfungsi dengan baik

sumber : http://ceritaanni.wordpress.com/2011/10/08/peran-fungsi-keluarga-dalam-membangun-moral-bangsa/

Urbanisasi, Mobilitas dan Perkembangan Perkotaan di Indonesia

PENGERTIAN urbanisasi sudah umum diketahui oleh mereka yang banyak bergelut di bidang kependudukan, khususnya mobilitas penduduk. Namun demikian, mereka yang awam dengan ilmu kependudukan sering kali kurang tepat dalam memakai istilah tersebut. Dalam pengertian yang sesungguhnya, urbanisasi berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Sedangkan mereka yang awam dengan ilmu kependudukan seringkali mendefinisikan urbanisasi sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota. Padahal perpindahan penduduk dari desa ke kota hanya salah satu penyebab proses urbanisasi, di samping penyebab-penyebab lain seperti pertumbuhan alamiah penduduk perkotaan, perluasan wilayah, maupun perubahan status wilayah dari daerah pedesaan menjadi daerah perkotaan, dan semacamnya itu.
Proses urbanisasi sangat terkait mobilitas maupun migrasi penduduk. Ada sedikit perbedaan antara mobilitas dan migrasi penduduk. Mobilitas penduduk didefinisikan sebagai perpindahan penduduk yang melewati batas administratif tingkat II, namun tidak berniat menetap di daerah yang baru. Sedangkan migrasi didefinisikan sebagai perpindahan penduduk yang melewati batas administratif tingkat II dan sekaligus berniat menetap di daerah yang baru tersebut. Di dalam pelaksanaan perhitungannya, data yang ada sampai saat ini baru merupakan data migrasi penduduk dan bukan data mobilitas penduduk. Di samping itu, data migrasi pun baru mencakup batasan daerah tingkat I. Dengan demikian, seseorang dikategorikan sebagai migran seumur hidup jika propinsi tempat tinggal orang tersebut sekarang ini, berbeda dengan propinsi dimana yang bersangkutan dilahirkan. Selain itu seseorang dikategorikan sebagai migran risen jika propinsi tempat tinggal sekarang berbeda dengan propinsi tempat tinggalnya lima tahun yang lalu.
Oleh karena itu, pemerintah di samping mengembangkan kebijaksanaan pengarahan persebaran dan mobilitas penduduk, termasuk di dalamnya urbanisasi, juga berkewajiban menyempurnakan sistem pencatatan mobilitas dan migrasi penduduk agar kondisi data yang ada lebih sesuai kondisi di lapangan. Terutama bila diperlukan untuk perumusan suatu kebijakan kependudukan.
Perkembangan urbanisasi
Di masa mendatang, para ahli kependudukan memperkirakan bahwa proses urbanisasi di Indonesia akan lebih banyak disebabkan migrasi desa-kota. Perkiraan ini didasarkan pada makin rendahnya pertumbuhan alamiah penduduk di daerah perkotaan, relatif lambannya perubahan status dari daerah pedesaan menjadi daerah perkotaan, serta relatif kuatnya kebijaksanaan ekonomi dan pembangunan yang “urban bias”, sehingga memperbesar daya tarik daerah perkotaan bagi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan . Itulah sebabnya di masa mendatang, isu urbanisasi dan mobilitas atau migrasi penduduk menjadi sulit untuk dipisahkan dan akan menjadi isu yang penting dalam kebijaksanaan kependudukan di Indonesia.
Jika di masa lalu dan dewasa ini, isu kelahiran (fertilitas) dan kematian (mortalitas) masih mendominasi kebijaksanaan kependudukan, di masa mendatang manakala tingkat kelahiran dan kematian sudah menjadi rendah, ukuran keluarga menjadi kecil, dan sebaliknya kesejahteraan keluarga dan masyarakat meningkat, maka keinginan untuk melakukan mobilitas bagi sebagian besar penduduk akan semakin meningkat dan terutama yang menuju daerah perkotaan.
Jika pada tahun 1980 migran di Indonesia berjumlah 3,7 juta jiwa, maka angka tersebut meningkat menjadi 5,2 juta jiwa pada tahun 1990 dan sedikit menurun menjadi 4,3 juta jiwa pada periode 1990-1995. Secara kumulatif diketahui bahwa sampai tahun 1980, jumlah penduduk Indonesia yang pernah melakukan migrasi adalah 11,4 juta jiwa, sedangkan pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 17,8 juta jiwa.
Lebih lanjut, data survei penduduk antarsensus (Supas) 1995 memperlihatkan bahwa tingkat urbanisasi di Indonesia pada tahun 1995 adalah 35,91 persen yang berarti bahwa 35,91 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Tingkat ini telah meningkat dari sekitar 22,4 persen pada tahun 1980 yang lalu. Sebaliknya proporsi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan menurun dari 77,6 persen pada tahun 1980 menjadi 64,09 persen pada tahun 1995.
Gambaran pertumbuhan penduduk daerah perkotaan itu dapat dicermati dari Tabel.
Meningkatnya proses urbanisasi tersebut tidak terlepas dari kebijaksanaan pembangunan perkotaan, khususnya pembangunan ekonomi yang dikembangkan oleh pemerintah. Sebagaimana diketahui peningkatan jumlah penduduk akan berkorelasi positif dengan meningkatnya urbanisasi di suatu wilayah. Ada kecenderungan bahwa aktivitas perekonomian akan terpusat pada suatu area yang memiliki tingkat konsentrasi penduduk yang cukup tinggi. Hubungan positif antara konsentrasi penduduk dengan aktivitas kegiatan ekonomi ini akan menyebabkan makin membesarnya area konsentrasi penduduk, sehingga menimbulkan apa yang dikenal dengan nama daerah perkotaan.
Di sini dapat dilihat adanya keterkaitan timbal balik antara aktivitas ekonomi dengan konsentrasi penduduk. Para pelaku ekonomi cenderung melakukan investasi di daerah yang telah memiliki konsentrasi penduduk yang tinggi serta memiliki sarana dan prasarana yang lengkap. Karena dengan demikian mereka dapat menghemat berbagai biaya, antara lain biaya distribusi barang dan jasa. Sebaliknya, penduduk akan cenderung datang kepada pusat kegiatan ekonomi karena di tempat itulah mereka akan lebih mudah memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan . Dengan demikian, urbanisasi merupakan suatu proses perubahan yang wajar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk atau masyarakat.
Jika urbanisasi merupakan suatu proses perubahan yang wajar, mengapa proses urbanisasi tetap harus dikendalikan atau diarahkan? Ada dua alasan mengapa urbanisasi perlu diarahkan.
Pertama, pemerintah berkeinginan untuk sesegera mungkin meningkatkan proporsi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa meningkatnya penduduk daerah perkotaan akan berkaitan erat dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi negara. Data memperlihatkan bahwa suatu negara atau daerah dengan tingkat perekonomian yang lebih tinggi, juga memiliki tingkat urbanisasi yang lebih tinggi, dan sebaliknya. Negara-negara industri pada umumnya memiliki tingkat urbanisasi di atas 75 persen. Bandingkan dengan negara berkembang yang sekarang ini. Tingkat urbanisasinya masih sekitar 35 persen sampai dengan 40 persen saja.
Kedua, terjadinya tingkat urbanisasi yang berlebihan, atau tidak terkendali, dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada penduduk itu sendiri. Ukuran terkendali atau tidaknya proses urbanisasi biasanya dikenal dengan ukuran primacy rate, yang kurang lebih diartikan sebagai kekuatan daya tarik kota terbesar pada suatu negara atau wilayah terhadap kota-kota di sekitarnya. Makin besar tingkat primacy menunjukkan keadaan yang kurang baik dalam proses urbanisasi. Sayangnya data mutahir mengenai primacy rate di Indonesia tidak tersedia.
Kebijaksanaan urbanisasi di Indonesia
Ada dua kelompok besar kebijaksanaan pengarahan urbanisasi di Indonesia yang saat ini sedang dikembangkan.
Pertama, mengembangkan daerah-daerah pedesaan agar memiliki ciri-ciri sebagai daerah perkotaan. Upaya tersebut sekarang ini dikenal dengan istilah “urbanisasi pedesaan “.
Kedua, mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, atau dikenal dengan istilah “daerah penyangga pusat pertumbuhan”.
Kelompok kebijaksanaan pertama merupakan upaya untuk “mempercepat” tingkat urbanisasi tanpa menunggu pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan melakukan beberapa terobosan yang bersifat “non-ekonomi”. Bahkan perubahan tingkat urbanisasi tersebut diharapkan memacu tingkat pertumbuhan ekonomi. Untuk itu perlu didorong pertumbuhan daerah pedesaan agar memiliki ciri-ciri perkotaan, namun tetap “dikenal” pada nuansa pedesaan. Dengan demikian, penduduk daerah tersebut dapat dikategorikan sebagai “orang kota” walaupun sebenarnya mereka masih tinggal di suatu daerah yang memiliki nuansa pedesaan .
Beberapa cara yang sedang dikembangkan untuk mempercepat tingkat urbanisasi tersebut antara lain dengan “memodernisasi” daerah pedesaan sehingga memiliki sifat-sifat daerah perkotaan. Pengertian “modernisasi” daerah pedesaan tidak semata-mata dalam arti fisik, seperti misalnya membangun fasilitas perkotaan, namun membangun penduduk pedesaan sehingga memiliki ciri-ciri modern penduduk perkotaan. Dalam hubungan inilah lahir konsep “urbanisasi pedesaan”. Konsep “urbanisasi pedesaan” mengacu pada kondisi di mana suatu daerah secara fisik masih memiliki ciri-ciri pedesaan yang “kental”, namun karena “ciri penduduk” yang hidup didalamnya sudah menampakkan sikap maju dan mandiri, seperti antara lain mata pencaharian lebih besar di nonpertanian, sudah mengenal dan memanfaatkan lembaga keuangan, memiliki aspirasi yang tinggi terhadap dunia pendidikan, dan sebagainya, sehingga daerah tersebut dapat dikategorikan sebagai daerah perkotaan.
Dengan demikian, apa yang harus dikembangkan adalah membangun penduduk pedesaan agar memiliki ciri-ciri penduduk perkotaan dalam arti positif tanpa harus merubah suasana fisik pedesaan secara berlebihan. Namun, daerah pedesaan tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai daerah perkotaan. Sudah barang tentu bersamaan dengan pembangunan penduduk pedesaan tersebut diperlukan sistem perekonomian yang cocok dengan potensi daerah pedesaan itu sendiri. Jika konsep urbanisasi pedesaan seperti di atas dapat dikembangkan dan disepakati, maka tingkat urbanisasi di Indonesia dapat dipercepat perkembangannya tanpa merusak suasana tradisional yang ada di daerah pedesaan dan tanpa menunggu pertumbuhan ekonomi yang sedemikian tinggi. Bahkan sebaliknya, dengan munculnya “para penduduk” di daerah “pedesaan” yang “bersuasana perkotaan” tersebut, mereka dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi dengan tetap mempertahankan aspek keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara tuntutan pertumbuhan ekonomi dan keseimbangan ekosistem serta lingkungan alam.
Kelompok kebijaksanaan kedua merupakan upaya untuk mengembangkan kota-kota kecil dan sedang yang selama ini telah ada untuk mengimbangi pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan. Pada kelompok ini, kebijaksanaan pengembangan perkotaan diklasifikasikan ke dalam tiga bagian, yaitu:
(a) kebijaksanaan ekonomi makro yang ditujukan terutama untuk menciptakan lingkungan atau iklim yang merangsang bagi pengembangan kegiatan ekonomi perkotaan. Hal ini antara lain meliputi penyempurnaan peraturan dan prosedur investasi, penetapan suku bunga pinjaman dan pengaturan perpajakan bagi peningkatan pendapatan kota;
(b) penyebaran secara spesial pola pengembangan kota yang mendukung pola kebijaksanaan pembangunan nasional menuju pertumbuhan ekonomi yang seimbang, serasi dan berkelanjutan, yang secara operasional dituangkan dalam kebijaksanaan tata ruang kota/ perkotaan, dan
(c) penanganan masalah kinerja masing-masing kota.
Dengan demikian, kebijaksanaan pengembangan perkotaan di Indonesia dewasa ini dilandasi pada konsepsi yang meliputi: (i) pengaturan mengenai sistem kota-kota; (ii) terpadu; (iii) berwawasan lingkungan, dan (iv) peningkatan peran masyarakat dan swasta. Dengan makin terpadunya sistem-sistem perkotaan yang ada di Indonesia, akan terbentuk suatu hierarki kota besar, menengah, dan kecil yang baik sehingga tidak terjadi “dominasi” salah satu kota terhadap kota-kota lainnya.
Urbanisasi merupakan proses yang wajar dan tidak perlu dicegah pertumbuhannya. Karena, proses urbanisasi tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Namun demikian, proses urbanisasi tersebut perlu diarahkan agar tidak terjadi tingkat primacy yang berlebihan. Pada saat ini pemerintah telah mengembangkan dua kelompok kebijaksanaan untuk mengarahkan proses urbanisasi, yaitu mengembangkan apa yang dikenal dengan istilah “urbanisasi pedesaan” dan juga mengembangkan “pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru”.
Diharapkan dengan makin bertumbuhnya daerah pedesaan dan juga menyebarnya daerah-daerah pertumbuhan ekonomi, sasaran untuk mencapai tingkat urbanisasi sebesar 75 persen pada akhir tahun 2025, dan dibarengi dengan makin meratanya persebaran daerah perkotaan, akan dapat terwujud.
(* Prijono Tjiptoherijanto, Guru Besar Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.

KEBUDAYAAN INDONESIA DAN KEPRIBADIAN BANGSA


KEBUDAYAAN INDONESIA DAN KEPRIBADIAN BANGSA
Kebudayaan Indonesia adalah satu kondisi manjemuk karena ia bermodalkan berbagai kebudayaan lingkungan wilayah yang berkembang menurut tuntutan sejarahnya sendiri-sendiri. Pengalaman serta kemampuan wilayah-wilayah itu memberikan jawaban terhadap masing-masing tantangan itulah yang memberikan bentuk, shape, dari kebudayaan itu. Juga proses sosialisasi yang kemudiandikembangkan dalam kerangka masing-masing kultur itu memberi warna kepada kepribadian yang muncul dari lingkungan wilayah budaya itu.
Clifford Geertz menyebut lingkungn wilayah budaya sebagai old societies – masyarakat-masyarakat lama.
Pada waktu masyarakat-masyarakat lama yang berada di kepulauan Nusantara ini disatukan oleh penjajah, kemajemukan kondisinya justru dipertahankan oleh penjajah untuk kepentingan pertahanan kekuasaannya. Maka dalam perkembangan wilayah kebudayaan itu selanjutnya cara perkembangannya juga ditentukan oleh perhitungan kepentingan sang penjajah.
Beberapa wilayah kebudayaan seperti Jawa dan Sunda mendapatkan kesempatan perkembangan – meskipun bukannya tanpa bayaran yang mahal – serta berdialog dengan dunia Barat modern.
Pasa waktu kita sebagai kumpulan masyarakat lama akhirnya berpedapat bahwa satu-satunya jalan untuk bisa mengatasi keterbelakangan kondisi kepulauan ini ialah dengan membuat suatu kesatuan yang disebut “bangsa baru yang modern”, maka sejak semula sesungguhnya kita juga menyadari kondisi kemajemukan serta ketimpangan keadaan itu. Sejak semula seyogyanya kita sudah menyadari akan perjalanan panjang , yang mesti kita tempuh, bila kita menuju kepada kepada satu kebudayaan baru yang “homogen” yang disebut Indonesia itu. Sejak semula kita seyogyanya tahu, bahwa tekad yang radikal dengan menyatakan hadirnya satu bahasa kesatuan di atas bahasa-bahasa regional, adalah baru jalan rintisan saja menuju jalan panjang pembangunansolidaritas baru itu.
Maka tantangan kebudayaan kita yang paling serius dalam menggalang satu konsep kebudayaan baru yang disebut Indonesia itu adalah kondisi majemuk kita serta ketimpanganya. Dapatkah dari kemajemukan dan ketidakseombangan atau ketimpangan kondisi itu dikembangkan suatu kultur baru yang homogen? Ataukah justru justru kondisi yang tidak homegen, yang majemuk ini, justru dinamika kita yang menguntungkan untuk membangun suatu solidaritas baru?
Tantangan kita yang berikut adalah konsekwensi dari kehendak kita untuk membuka pintu budaya kita lebar-lebar. Tidak hanya bagi kebudayaan-kebudayaan lingkungan yang lalu, akan tetapi juga bagi kebudayaan asing lewat berbagai saluran ekonomi, pendidikan dan politik.
Tantangan ini berjalin sangat eratnya dengan kondisi kemajemukan serta ketidakeseimbangan tersebut tadi. Sebab, dari kondisi yang demikian juga akan ditentukan pula kualitas pengolahan dialog dengan kebudayaan asing itu.

Keitdakmampuan kawan kita dari Jawa menghayati lukisan Popo Iskandar, seperti terlukis di atas, adalah siratan dari kemampuan kita mengolah dialog dengan pengaruh kebudayaan asing itu. Bila kita simak lebih dalam pada tubuh masyarakat kita, maka akan nampak lebih jelas lagi bagaimana kaya persoalan-persoalan yang demikian itu. Juga ketidakmampuan kawan kita dari Batak untuk menghayati lukisan “à la Kamasan” itu adalah satu ilustrasi lagi tentang ketidakmampuan kita melaksanakan dialog budaya dengan ekspresi budaya dari sesama kepulauan.
Gejolak politik yang berbagai-bagai di masa lampau yang kadang-kadang hampir mengoyak-ngoyak kembali keutuhan kita yang masih rapuh, pada hakikatnya adalah dialog-dialog keras antara berbagai idiom budaya dari berbagai old societies itu. PRRI, PERMESTA, D.I. adalah manifestasi dari itu semua.
Persoalan-persoalan ekonomi kita ternyata juga banyak merupakan persoalan budaya kita. Kehendak kita untuk membangun suatu ekonomi nasional dengan prinsip pemerataan ternyata tertumbuk pada apa yang disebut factor-faktor “non-ekonomi”, yang sesungguhnya mesti dibaca sebagai “kebudayaan”.
Dalam bagian dari loka-karya ini dibahas peranan dan perkembangan bahasa Indonesia sebagai satu bahasa nasional. Pastilah di situ akan terlihat, bagaimana mengumumkan satu bahasa nasional tidak selalu sama dengan melaksanakannyadalam berbagai wilayah yang sebelumnya mengenal berpuluh , mungkin beratus, bahasa yangsudah menjadi suatu kenyataan kebudayaan yang hidup dengansubur.Keinginan kita untuk membangun adanya suatu bahasa dan kesusastraan yang akan mengikat dan memikat karena ia adalah sumber inspirasi penting, masih akan menempuh jalan panjang, karena kondisi majemuk dan ketidakseimbangan kondisi budaya kita juga. Kemudian keinginan kita untuk mengembangkan satu sistempolitik yang cocok dengan kondisi kita, dengan pemahaman kita menghayati kekuasaan dan pemerintahan, menghayati tempat yang aman dan sejahtera dari orang-kecil di tengah atau di sela jaringan kekuasaan yang rumit, ternyata juga masalah kebudayaan.
Keinginan kita untuk merangkul kebudayaan dunia maju, kebudayaan bangsa-bangsa yang dianggap sukses dalam menciptakan kebudayaan yang telah memakmurkan bangsanya, juga merupakan kebudayaan, karena sekali lagi di situ terlihat dengan jelas bagaimana dialog dengan idiom asing itu ditentukan banyak sekali oleh kemajemukan (dan) pengalaman masing-masing “masyarakat lama” itu. Seringkali justru ditunjukkan bagaimana masyarakat lama yang “tipis” pertahanan atau khazanah idiol budayanya, merangkul idiom budaya asing itu dengan lebih gairah dan kreatif lagi.

Lantas sesudah kita menderetkan berbagai ilustrasi problema dari memiliki kenyataan kondisi yang majemuk dan tidak seimbangdari kebudayaan kita, bagaimana jawaban dari pertanyaan kita semua, apakah kita akan membangun suatu kebudayaan baru yang homogen ataukah satu kebudayaan baru yang mendinamiskan kemajemukan kita?
Konon, salah satu kunci sukses dari apa yang disebut “restorasi Meiji” (tidak ada hubungannya dengan restoran di sini – setidaknya secara langsung) di Jepang ialah karena Jepang telah “beruntung” terlebih dahulu memiliki satu “kebudayaan yang sudah homogen”.Yakni satu kebudayaan di mana dari ujung Jepang yang satu ke ujung Jepang yang lain akan hadir dengan utuh-nyata “ke-Jepangan” itu. Maka itu proses dialog dan penyesuaian dengan budaya barat yang diwajibkan oleh kaisar Meiji beserta arsitek-arsitek pembangunannya berjalan dengan pesat dan kreatif. Jepang lahir kembali menjadi bangsa modern yang tangguh.
Negeri kita adalah satu kepulauan dengan wilayah yang tersebar. Dalam puluhan pulau itu bermukim ratusan wilayah old societies. Ini satu kenyataan bukan hanya sejarah akan tetapi juga geografis. Dan kebudayaan seringkali adalah geografi juga. Baiklah ini kita terima sebagai kenyataan yang keras dan justru harus kita terima sebagai modal. Maksud saya kemajemukan itu mestilah bisa kita kelola sebagai unsure-unsur yang positi untuk melahirkan hadirnya kebudayaan baru yang disebut Indonesia itu. Ini tidak gampang, bahkan sulit. Akan tetapi yang monolit dari kenyataan kemajemukan itu juga tidak menjanjikan suatu alternative yang lebih aman dan positif.
Pengalaman pahit kita dengan PRRI, PERMESTA dan D.I. adalah reaksi terhadap usaha homogenitas yang terlalu dipaksakan. Saya kira adalah bijaksana dengan memilih beberapa unsur budaya yang luwes yang dapat dijadikan sebagai pengikat dasar homogenitas – seperti bahasa nasional, sistem pendidikan nasional – tetapi yang cepat mesti didampingi dengan ruang gerak yang luwes dan luwes berupa prasarana dan sarana budaya di daerah-daerah. Dengan perkataan lain yang populer : Sesudah ditarik persetujuan bersama akan konsensus nasional, berilah kesempatan daerah menasirkan atau menerapkan konsensus itu menurut idiom daerah.
Dengan lain perkataan, makalah ini memilih alternatif membangun kebudayaan baru yang mendinamiskan kemajemukan kita.
Kepribadian bangsa?
Ilmu sosial dan ilmu psikhologi mengajarkan kepada kita bahwa kepribadian tidak pernah berdiri sebagai suatu hal yang terpisah, yang terisolasikan. Meskipun penelitian di bidang ”kepribadian” ini masih seluas hutan belukar yang baru mengalami sedikit pembabatan, tapi agaknya satu kesepakatan temah dicapai untuk mengatakan bahwa kepribadian itu erat sekali berhubungan dengan kultur.
Ralp Linton yang menggambarkan setia bayi sebagai “barbar yang harus diadabkan” jelaslah harus melewati proses yang tidak hanya lewat pendidikan orang tua saja. Tetapi juga lewat proses lain. Setidak-tidaknya pemanfaatan orang tua untuk dilewati pengaruh lain. Inilah yang disebut sosialisasi. Yakni proses penyesuaian terus-menerus dari sang “barbar kecil” itu kepada sistem nilai dan budaya dari komunitasnya.
Maka “kepribadian bangsa” saya kira mestilah juga dibayangkan sebagai sesuatu yang tak lepas dari kultur dari bangsa itu. Mesti juga dibayangkan sebagai proses penyesuaian terus-menerus – sosialisasi dalam kanvas besar – dengan sistem nilai dan budaya bangsa itu.
Padahal kita telah melihat bagaimana cair, fluid, kondisi kebudayaan Indonesia itu; bagaimana majemuk; bagaimana mengandung banyak kenisbian; bagaimana status kesementaraan. Bagaiamakah mendudukkan “kebudayaan Indonesia dengan kepribadian banga” kalau begitu?
Yang jelas bukan dengan mulai menggarisbawahi satu konsep kental-kaku, rigid, tentang “kepribadian bangsa”. Apalagi bila konsep “kepribadian bangsa” itu berorientasi hanya pada satu konsep pada satu lingkungan kebudayaan.Bagaimana pun bagus dan pernah sukses konsep itu bagi bangsa tersebut, satu hal sudah pasti: konsep itu sukses dalam kondisi “masyarakat lama”.
Padahal kita telah bertekad untuk “kocok kartu” membangun satu budaya baru. Jadi juga di sini konsep “kepribadian bangsa” itu mesti digarap secara lebih luwes dan kreatif. Kuncinya saya kira pada kemajemukan budaya kita dan kreativitas kita “memainkan“ kemajemukan kita itu. Ini berarti bahwa kita mesti bersedia memiliki “bidag bahu yang selebar-lebarnya” dalam menyediakan ruang gerak yang bebas untuk mengembangkan “kepribadian bangsa” yang akan muncul bersama kultur kita yang ùajemuk dinamis itu.

Lukisan Kamasan adalah lukisan Indonesia dengan kepribadian Indonesia. Tentu saja. Dengan catatan ia akan terus tergarap dari titik pangkal nilai-nilai “masyarakat lama ke perubahan baru.
Lukisan Popo Iskandar adalah lukisan Indonesia dengan kepribadian Indonesia.Tentu saja. Dengan catatan ia akan terus digarap dari titik pangkal dialog gencar dengan nilai-nilai budaya asing. Orang-orang Batak, Minang dan suku-suku « non-wayang » lainnhya akan tidak paham lukisan Kamasan. Tentu saja.
Orang-orang yang jauh dari dialog nilai-nilai budaya asing akan tidak paham lukisan Popo Iskandar dan sebangsanya. Tentu saja. Dialog budaya di persada Indonesia akan terus juga berjalan.***
Catatan:
* Tulisan ini adalah cuplikan dari tulisan Umar Kayam, yang terkumpul dalam “Seni, Tradisi,Masyarakat”, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, Seri Esni No. 3, Jakarta, 1981.
sumber : Blog Andriani Salam Kusni & JJ. Kusni